Disamping kesamaan yang dimiliki laki2 dan perempuan, Islam juga memberikan sejumlah hak kepada perempuan. Secara umum, Q.S. An-Nisa':32 menunjuk kepada hak2 perempuan. Tentang hal ini, Quraish Shihab menyebutkan beberapa hak yang dimiliki oleh kaum perempuan menurut islam, yakni hak politik, hak profesi, dan hak belajar (Shihab, 1998: 303-315). Sedangkan Muhammad Utsman al-Husyt menambahkan hak sipil, hak berpendapat, dan hak pengajuan cerai (Al-Husyt, 2003: 10).
HAK POLITIK
Salah satu ayat yang seringkali dikaitkan dengan hak-hak politik kaum perempuan adalah yang tertera dalam Q.S. al-Taubah:71. Secara umum, ayat tersebut dipahami sebagai gambaran tentang kewajiban melakukan kerjasama antara laki-laki dan perempuan dalam berbagai bidang kehidupan yang dilukiskan dengan kalimat "Menyuruh mengerjakan yang ma'ruf dan mencegah yang munkar". Di samping itu, dalam Q.S. al-Syura:38 disebutkan pujian bagi umat Islam dalam memutuskan urusan mereka dengan musyawarah.
Selaras dengan hak diatas, kenyataan sejarah menunjukkan sekian banyak di antara kaum wanita yang terlibat dalam soal-soal politik praktis. Ummu Hani, misalnya, dibenarkan sikapnya Nabi Muhammad saw ketika memberi jaminan keamanan kepada sejumlah orang musyrik (jaminan keamanan merupaka salah satu aspek politik). Bahkan istri Nabi Muhammad saw sendiri, yakni Aisyah RA, memimpin langsung perang Jamal (Unta) saat melawan 'Ali bin Abi Thalib yang ketika itu menduduki jabatan kepala negara (Shihab, 2005:347)
HAK PROFESI
Dalam hal memilih pekerjaan, secara singkat, dapat dikemukakan bahwa perempuan mempunyai hak untuk bekerja selama pekerjaan tersebut membutuhkannya dan (atau) selama mereka membutuhkan pekerjaan tersebut. Selain itu, pekerjaan itu dapat dilakukannya dalam suasana terhormat, sopan, serta selama mereka dapat memelihara agamanya, serta dapat pula menghindari dampak-dampak negatif dari pekerjaan tersebut terhadap diri dan lingkungannya. Dalam hal ini, pakar hukum Islam Mesir, Abu Zahrah mengingatkan bahwa meskipun perempuan boleh bekerja, namun mereka harus memperhatikan bahwa pekerjaan pokok mereka adalah membina rumah tangga (Shihab,2005:361).
Pekerjaan dan aktivitas yang dilakukan perempuan pada masa Nabi SAW cukup beraneka ragam, sampai mereka terlibat secara langsung dalam peperangan, seperti Ummu Salamah (istri Nabi) dan Shafiyah, serta menjadi perawat atau bidan. Ada pula yang bekerja sebagai perias pengantin, seperti Ummu Salim binti Malhan. Dalam bidang perdagangan, nama istri Nabi yang pertama, Khadijah binti Khuwailid, tercatat sebagai seorang yang sangat sukses. Demikian juga Qilat Ummi Bani Anmar yang tercatat sebagai seorang perempuan yang pernah datang kepada Nabi untuk meminta petunjuk dalam bidang jual beli. Istri Nabi SAW, Zainab binti Jahsy, juga aktif bekerja sampai pada menyamak kulit binatang, dan hasil usahanya itu beliau sedekahkan. Raithah, istri sahabat Nabi, Abdullah ibn Mas'ud, sangat aktif bekerja, karena suami dan anaknya ketika itu tidak mampu mencukupi kebutuhan hidup keluarganya. Al-Syifa, seorang perempuan yang sangat pandai menulis, ditugaskan oleh Khalifah 'Umar RA sebagai petugas yang menangani pasar kota Madinah.
Di samping yang disebutkan diatas, Rasul Allah SAW juga banyak memberikan perhatian serta pengarahan kepada perempuan agar menggunakan waktu sebaik-baiknya dan mengisinya dengan pekerjaan-pekerjaan yang bermanfaat. Dalam hal ini antara lain, beliau bersabda, "Sebaik-baik 'permainan' seorang perempuan Muslimah di dalam rumahnya adalah memintal (menenun)" (HR.Abu Nu'aim). Aisyah RA diriwayatkan pernah berkata, "Alat pemintal di tangan perempuan lebih baik daripada tombak di tangan lelaki."
HAK dan KEWAJIBAN BELAJAR
Hak dan kewajiban belajar perempuan dan laki-laki sangat banyak dibicarakan ayat al-Qur'an dan hadis Nabi SAW. Wahyu pertama al-Qur'an adalah perintah membaca atau belajar. Sejumlah hadis juga memerintahkan lelaki maupun perempuan untuk mencari ilmu sebanyak mungkin (Shihab, 1998:303-315).
Dalam sejarah Islam, banyak wanita yang sangat menonjol pengetahuannya dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan dan yang menjadi rujukan sekian banyak tokoh lelaki. Istri Nabi, Aisyah RA adalah seorang yang sangat dalam pengetahuan agamanya serta dikenal pula sebagai kritikus. Demikian pula Sayyidah Sakinah Putri al-Husain bin 'Ali bin Abi Thalib. Kemudian al-Syaikhah Syuhrah yang digelari Fakhr al-Nisa' (Kebanggaan Perempuan) adalah salah seorang guru Imam Syafi'i. Terdapat juga tiga perempuan yang menjadi guru tokoh mahzab tersebut.
Dalam hal ini, Syaikh Muhammad 'Abduh menulis, "Jika kewajiban perempuan mempelajari hukum-hukum agama kelihatannya amat terbatas, maka sesungguhnya kewajiban mereka untuk mempelajari hal-hal yang berkaitan dengan rumah tangga, pendidikan anak, dan sebagainya yang merupakan persoalan-persoalan duniawi (dan yang berbeda sesuai dengan perbedaan waktu, tempat, dan kondisi) jauh lebih banyak dari pada soal-soal keagamaan".
HAK SIPIL
Menurut Muhammad Utsman al-Huyst, perempuan dalam Islam memiliki hak-hak Sipil sebagaimana lelaki, seperti: hak kepemilikan, mengatur hartanya sendiri, melakukan perjanjian, jual-beli, wasiat, hibah, mewakili atau menjamin orang lain, serta hak memilih suami. Terkait dengan hak yang terakhir ini disebutkan dalam dua hadis tentang sahabat puteri yang protes kepada Nabi SAW karena dinikahkan paksa oleh walinya tanpa persetujuannya, dan Nabi SAW membenarkan protes mereka.
HAK PERPENDAPAT
(Dikutip dari buku berjudul Aktualisasi Pendidikan Islam Respon Terhadap Problematika Kontemporer)